Menyingkap Tabir Individualistis

Kesekian kali tuan dan nyonya bergelar alat optik termegah dan paling berharga meredupkan intensitas kerjanya menerima cahaya, otak mulai memberi sinyal sinyal kekurangan oksigen terfakta semakin memberatkan pelupuk mata—sungguh tidak singkron dengan suasana yang dialami si gadis dengan jilbab abu muda tepatnya yang duduk di baris bangku ketiga dalam bilik agak besar bersama 39 orang lainnya—satu diantaranya paling tua sebagai pemilik singgasana ruang itu hari ini, sebut saja yang mulia kelas.


Semua mata tertuju padanya yeah kalimat persuasif berbasi iklanis namun saat ini sangat tepat menggambarkan suasana, bagaimana tidak, setiap ucapan yang keluar dari—sebut saja yang mulia kelas berhati mulia bertujuan mutiara yang tiap bulirnya bermakna membagi ilmu kepada semua pemilik mata yang menuju padanya.
Bagaimana dengan si gadis pemeran utama? Oke kembali tentang dirinya, entah kenapa matanya semakin meredup tak sesuai dengan keinginan hatinya yang tidak ingin keduanya itu tertutup dan menghilangkan semua konsentrasi penuh yang patutnya ia berikan—bosan mungkin atau beberapa faktor lain yang entahlah apa hingga semuanya buyar dalam rasa kantuk yang mencandu seluruh saraf indra memblok seluruh sirine terjaga.

Gambar pantulan cahaya di depan kini telah berganti, slide dengan segenap tulisan sepertinya sudah habis masa saat yang mulia kelas melakukan sesuatu pada laptopnya sehingga gambar satu spesies tumbuhan famous menjadi bahagian slide berikutnya ‘ortodhomintus tomentosa’ kurang lebih dan kalau tidak salah begitu ia diberi nama, bola hitam yang biasa berkilau milik si gadis sepertinya terkejut dengan adanya warna baru yang dibiaskan bagian lensanya, molekul konsentrasi pun kembali berkumpul menendang beberapa keping candu kantuk yang melanda indera pendengar menajam mendengar sang pemilik singgasana kelas kembali melanjutkan penjelasannya—blablabla—biasanya mewakili beberapa kalimat tak penting dan tak menarik tapi khusus paragraf ini tiga suku kata itu berdiri untuk beberapa kalimat yang tak penting dijabarkan (karena saya juga tak bisa mengulanginya hehe) namun sangat membawa obrolan menjadi semakin menarik, menarik dan semakin menarik sampai tibanya satu kalimat

“kalian tau kenapa peneliti Indonesia belum bisa menjadi standar dunia?”

seluruh kelas terpaku diam dengan beragam ekspresi penasaran, begitu pula si gadis, ia merasa seakan akan seluruh sarafnya wajib menstalker pembicaraan satu ini, sampai sampai semua dendrit pada neuron berteriak-teriak tak sabar menunggu kata kata berikutnya—rasa penasaran!—taukah kalian si gadis pemeran utama suka sekali berada dalam situasi ini

lanjutkan yang muliaaa~

“Karena mereka individualistis! Lemah dalam kerja sama tim!”

Guliran bola hitam si gadis kini bergulir ke kuku kukunya yang tergerak saling menjelentik, seiring dengan hati dan otak yang meresapi apa yang baru saja terdengar.
‘sepertinya benar juga’

“Orang kita, sebagian besar tidak bisa mengerahkan empati, dan mengakui kehebatan teman, apalagi memuji, hanya ingin menang dan merasa hebat sendiri”

bulu kuduk mulai agak terkejut namun tidak sampai merinding, hati sedikit terayun namun tidak terlalu tergetar, tapi seluk beluk liku ceberum mulai menganalisa arti kata itu, seiring ruh dalam kalbu yang mulai menetapkan suatu komitmen

‘aku tidak boleh lagi (…)’

dengan beberapa premis simpulan si gadis;

‘memang, diriku terkadang egois’

‘tak jarang terbutakan mata ini atas kelebihan orang lain yang seharusnya tersadari dan terakui agar saling melengkapi antar sesama manusia’

‘diriku juga berat sekali memuji berbalik dengan tingginya dampak positif yang bisa di kembangkan hanya dengan sepatah pujian’

‘aku juga menuntut dihargai dibalik kuakui inilah diriku yang terkadang lupa menghargai'

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar